2.2 ETIOLOGI
Penyebab
penyakit ini adalah Clostridium Tetani yaitu obligat anaerob pembentukan spora,
gram positif, bergerak, yang tempat tinggal (habitat) alamiahnya di seluruh
dunia yaitu di tanah, debu dan saluran pencernaan berbagai binatang dan berukuran
2-5 x 0,4-0,5 milimikro. Pada ujungnya ia membentuk spora, sehingga secara
mikroskopis tampak seperti pukulan gendering atau raket tenis. Spora tetanus
dapat bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi
sel vegetative terbunuh oleh antibiotic, panas dan desinfektan baku. Toksin ini
labil pada pemanasan, pada suhu 65 C akan hancur dalam lima menit. Tidak seperti banyak klostridia,
Clostridium Tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan
menyebabkan penyakit melalui toksin tunggal, tetanospasmin yang lebih sering
disebut sebagai toksin tetanus. Toksi tetanus adalah bahan kedua yang paling
beracun yang diketahui, hanya di unggulin kekuatannya oleh toksin batulinum. Kuman
ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang
mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya
tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka
yang dalam dengan perawatan yang salah.
2.3 PATOFISIOLOGI
Biasanya
penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang disebabkan
tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut
menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor dan
pada bayi dapat melalui tali pusat luka bakar dan patah tulang yang terbuka
juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan
clostridium tetani.
Tetanus
terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak diri dan
mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat
jejas yang terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin. Toksin yang dilepas bersama
sel bakteri sel vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan
toksin batolinium) di gabung oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada
sambungan neuromuscular dan kemudian diendositosis oleh saraf motoris,sesudah
ia mengalami ia mengalami pengangkutan akson retrograt
kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam medulla spinalis
dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi ini
menghalangi pelepasan neurotransmitter . toksin tetanus dengan demikian
meblokade hambatan normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang
disengaja yang di koordinasi, akibatnya otot yang terkena mempertahankan
kontraksi maksimalnya, system saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada
tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam
lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak
sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan
potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat
adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara
intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai
dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan
elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam
sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk
sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada
daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekakuan. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10
hari.
2.4 MANIFESTASI KLINIK
Tetanus
biasanya terjadi setelah suatu trauma, kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus juga dapat
terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular
yang mngalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan,
injeksi intramuscular, dan pembedahan.
Masa
tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada
infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum. Penyakit
ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah
terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata
dengan :
1. Trismus
( kesukaran membuka mulut ) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku
kuduk sampai opistotonus ( karena ketegangan otot-otot erector trunki ).
3. Ketegangan
otot dinding perut ( harus dibedakan dengan abdomen akut ).
4. Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin
yang terdapat di kornus anterior.
5. Rikus sardonikus karena spasme otot muka (
alis tertarik keatas ), sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan
kuat pada gigi.
6. Kesukaran
menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.
7. Spasme
yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstermitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme
mula-mula intermiten diselingi dengan periode relaksasi. Kemudian tidak jelas
lagi dan serangan tersebut disertai dengan rasa nyeri. Kadang-kadang di sertai
perdarahan intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akobat serangan
pada otot pernafasan dan laring. Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot
uretra. Fraktur kolumna vetebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot
yang sangat kuat.
9. Panas
biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya
terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang terjadi tekanan cairan di otak.
Ada 3 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1) tetanus
local : otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada bagian
paroksimal luak. Gejala itu dapat menetap dalam
beberapa minggu dan menhilang tanpa sekuele.
2) Tetanus
general merupakan bentuk paling sering, timbul mendadak dengan kaku kuduk,
trismus, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala merupakan manifestasi
awal. Dalam waktu
singkat konstruksi otot somatik — meluas.
Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya spasme berlangsuang beberapa detik
sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
3) Tetanus
segal : varian tetanus local yang jarang terjadi masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka.
Paling menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX dan XI tersering adalah
saraf otak VII diikuti tetanus umum.
Menurut
berat gejala dapat dibedakan 3 stadium :
1.
Trismus (3 cm) tanpa kejang-lorik umum meskipun dirangsang.
2.
Trismur (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum
bila di rangsang .
3.
Trismur (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.
Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21
hari
b. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak)
c. Kesukaran membuka mulut (trismus)
d. Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding
perut dan tulang belakang
e. Saat kejang tonik tampak risus sardonikus.
2.5 PEMERIKSAAN DIAGNOSA
§ Pemeriksaan fisik : adanya
luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang.
§ Pemeriksaan darah :
leukosit 8.000-12.000 ca.
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Liquor Cerebri
normal
b. hitung leukosit
normal atau sedikit meningkat.
c. Pemeriksaan kadar
elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium
d. Analisa gas darah
dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
2. Pemeriksaan
radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.
2.7 KOMPLIKASI
1) Spame otot faring yang
menyebabkan terkumpulnya air liur (saripa) di dalam rongga mulut dan hal ini
memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2) Asfiksia
3) Atelektaksis karena obstruksi
secret
4) Fraktur kompresi
2.8 PENATALAKSANAAN
a) Secara umum
ü Merawat dan memebersihkan
luka sebaik-baiknya.
ü Diet TKTP pemberian tergantung kemampuan
menelan bila trismus makanan diberi pada sonde parenteral.
ü Isolasi pada ruang yang
tenang bebas dari rangsangan luar.
ü Oksigen pernafasan butan
dan trakeotomi bila perlu.
ü Mengatur cairan dan
elektrolit.
b) Obat-obatan
1) Antitoksin
Antitoksin 20.000 iu/1.m/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan
tidak ada reaksi hipersensitivitas.
2) Anti kejang/Antikonvulsan
ü Fenobarbital (luminal) 3 x
100 mg/1.M. untuk anak diberikan mula-mula 60-100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6 x
30 mg hari (max. 200 mg/hari).
ü Klorpromasin 3 x 25
mg/1.M/hari untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
ü Diazepam 0,5-1,0 mg/kg
BB/1.M/4 jam, dll.
3) Antibiotik
Penizilin prokain 1, juta 1.u/hari atau tetrasiflin 1 gr/hari/1.V
Dapat memusnakan oleh tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologiknya.
2.9 PENCEGAHAN
1) Imunisasi
aktif toksoid tetanus, yang diberikan sebagai dapat paad usia 3,4 dan 5 bulan.
Booster diberikan 1 tahun kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun.
2) Bila
mendapat luka
ü Perawatan
luka yang baik : luka tusuk harus di eksplorasi dan dicuci dengan H2O2.
ü Pemberian
ATS 1500 iu secepatnya.
ü Tetanus
toksoid sebagai boster bagi yang telah mendapat imunisasi dasar.
ü Bila
luka berta berikan pp selama 2-3 hari (50.000 iu/kg BB/hari).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAAN
1. Pengkajian umum : Riwayat
penyakit sekarang : adanya luka parah dan luka bakar dan imunisasi yang tidak
adekuat.
2. Pengkajian khusus:
a. System pernafasan :
dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi oto pernafasan.
b. System cardiovascular : disritmia, takicardi,
hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awalnya 38 - 40°Catau febris sampai ke
terminal 43 - 44°C.
c. System neurologis:
irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir), kelumpuhan satu atau beberapa
saraf otak.
d. System perkemihan :
retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output tidak ada/oliguria)
e. System pencernaan :
konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
f.
Siatem integument dan
muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat luka, berkeringatan
(hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka dengan
peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan
menelan.
Apabila hal
ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spasme otot
pernafasan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan
nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia)
berhubungan dengan efek toksin ( bakterimia )
4. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
5. Hubungan interpersonal
terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara
6. Gangguan kebutuhan sehari-hari berhubungan
dengan kondisi lemah dan sering kejang
7. Resiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria
8. Resiko terjadi cedera berhubungan dengan
sering kejang
9. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga
tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhubungan dengan kurangnya
informasi
10. Kurangnya kebutuhan
istirahat berhubungan dengan sering kejang
3.3 INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spasme otot
pernafasan, ditandai dengan : ronchi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif
disertai dengan sputum atau lender, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan :
AGD abnormal (asidosis respiratotik)
Tujuan: jalan
nafas efektif
Kriteria:
ü Klien tidak sesak, lender
atau sleam tidak ada
ü Pernafasan 16 – 18 kali/menit
ü Tidak ada pernafasan
cuping hidung
ü Tidak ada tambahan otot
pernafasan
ü Hasil pemeriksaan laboratorium darah AGD dalam
batas normal ( pH=7,35 – 7,45 ; PCO2= 35 – 45 mmHg, PO2 = 80 – 100 mmHg )
Intervensi
|
Rasional
|
1) Bebaskan jalan napas
dengan mengatur kepala ekstensi
|
1) Secara anatomi posisi
kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernapasan sehingga
proses respirasi tetap berjalan lancer dengan menyingkirkan pembuntuan jalan
napas
|
2) Pemeriksaan fisik dengan
cara auskultasi mendengar suara napas (adakah ronchi) tiap 2 - 4 jam
sekali
|
2) Ronchi menunjukkan
adanya gangguan pernapasan asan shingga perlu di keluarkan untuk
mengoptimalkan jalan napas
|
3) Bersihkan mulut dan
saluran nafas dari secret dan lendir dengan melakukan section.
|
3) Section merupakan
tindakan bantuan untuk mengeluarkan secret, sehingga proses respirasi lanjar
|
4) Oksigen sesuia dengan
intruksi dokter
|
4) Pemberian oksigen secara
adekut dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah
terjadi hipoksia
|
5) Observasi tanda-tanda
vital setiap 24 jam
|
5) Dyspnea, sianosis
merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan karja jantung yang
menurun timbul tacikardi dan capillary reffil tame yang memanjang/lama
|
6) Observasi timbulnya
gagal nafas/apnes
|
6) Ketidakmampuan tubuh
dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan
alat bantu pernafasan (mencanikal ventilation)
|
Kalaborasi
1) Dalam pemberian obat
pengencer secret (mukolatik).
|
1) Obat mukolatik dapat
mengencerkan secret yang kental sehingga mudah mengeluarkan dan mencegah
kekentalan.
|
2. Gangguan pola nafas
berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan,
yang ditandai dengan kejang rangsangan, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya
lender dan secret yang menumpuk.
Tujuan : pola
nafas teratur dan normal
Kriteria :
ü Hipoksemia teratasi,
mengalami perbaikan pemenuhan kebutuhan oksigen
ü Tidak sesak, pernafasan
normal 16 – 18 kali/menit
ü Tidak sianosis
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1) Monitor irama pernapasan
dan respirasi rate
|
1) Indikasi adanya
penyimpanan atau kelainan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis
pernafasan, kemampuan dan irama nafas.
|
2) Atur posisi untuk
luruskan jalan nafas
|
2) Jalan nafas yang longgar
tidak ada sumbatan pada pross respirasi dapat berjalan dengan lanjar.
|
3) Observasi tanda dan
gejala sianosis
|
3) Sianosis merupakan salah
satu tanda manifestasi klinik ketidakadekuatan suplai O2 pada jaringan tubuh
perifer.
|
4) Berikan oksigen sesuai
dengan intruksi dokter
|
4) Pemberian oksigen secara
adekuat dapat mensuplai dan memberikan cedangan oksigen, sehingga mencegah
terjadinya hipoksia.
|
5) Observasi tanda-tanda
vital tiap 2 jam
|
5) Dyspnea, sianosis
merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja kantung yang
menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama.
|
6) Observasi timbulnya
gagal nafas
|
6) ketidakmampuan tubuh
dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan
alat bantu pernafasan (mechanical ventilato).
|
7) Kolaborasi dalam
pemeriksaan analisa gas darah
|
7) kompensasi tubuh
terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat mengakibatkan
terjadinya asidosis respiratory.
|
3. Peningkatan suhu tubuh
(hipertermi) berhubungan dengan efek toksin (bakterimia), yang ditandai dengan
: suhu tubuh meningkat menjadi 38 – 40 °C, hiperhidrasi, sel darah putih lebih
dari 10.000/mm3
Tujuan : suhu
tubuh normal
kriteria :
ü Suhu kembali normal 36 –
37 °C
ü Hasil laboratorium sel
darah putih (leukosit) antara 5.000 – 10.000/mm3
Intervensi
|
Rasional
|
1) Atur suhu lingkungan
yang nyaman
|
1) Iklim lingkungan dapat
mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi
melalui proses evaporasi dan konveksi.
|
2) Pantau suhu tubuh tiap 2
jam
|
2) dentifikasi perkembangan
gejala-gejala kearah syok exhaustion.
|
3) Berikan hidrasi atau
minum yang adekuat
|
3) cairan-cairan membantu
menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari demam.
|
4) Lakukan tindakan teknik
aseptic dan antiseptic pada perawatan luka
|
4) perawatan luka
mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
|
5) Berikan kompres dingin
bila tidak terjadi eksternal rangsangan kejang
|
5) kompres dingin merupakan
salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
|
6) Laksanakan program pengobatan antibiotic dan
antipiretik
|
6) obat-obatan
antibacterial dapat mempunyai spectrum untuk mengobati bakteri gram positif,
atau bakteri gram negative, antipiretik bekerja sebagai proses termoregulasi
untuk mengantisipasi panas.
|
7) Kolaborasi dalam
pemeriksaan laboratorium leukosit
|
7) Hasil pemeriksaan leukosit
yang meningkat lebih dari 100.000/mm3 mengidentifikasikan adanya infeksi dan
atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.
|
.
4. Pemenuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan
intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat
melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau
albumin kurang dari 3,5 mg%
Tujuan :
kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria :
ü Berat badan optimal
ü Intake adekuat
ü Hasil pemeriksaan albumin
3,5 – 5 mg%
Intervensi
|
Rasional
|
1) Jelaskan faktor yang
mempengaruhi kesuliatan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh
|
1) Dampak dari tetanus
adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesuliatan
menelan dan kadang timbul reflex balik atau kesedak. Dengan tingkat
pengetahuan yang adekuat diharapkan klien dapat berpartisipasi dan kooperatif
dalam program diet.
|
2) Kolaborasi dengan tim
gizi untuk pemberian diet TKTP cair, lunak, dan bubur kasar.
|
2) Diet yang diberikan
sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.
|
3) Kolaborasi untuk
memberikan caiaran IV line
|
3) pemberian cairan
perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyah atau tidak bisa
makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
|
4) Kolaborasikan untuk
pemasangan NGT bila perlu
|
4) NGT dapat berfungsi
sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan ob
|
3.4 EVALUASI
Evaluasi
adalah perbandingan yang sistematik atau terencana tentang kesehatan pasien
dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan,
dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Lynda Juall
Capenito,1999:28)
1. Bersihan jalan nafas,
sehingga oksigen terpenuhi.
2. Pola nafas teratur.
3. Suhu tubuh normal.
4. Kebutuhan nutrisi
terpenuhi.